Thawus bin Kaisan (Penasehat Yang Lurus)

Dzakhwan bin Kaisan yang mendapat julukan Thawus(burung merak) karena dia laksana Thawus bagi para fuqaha dan pemuka di masanya. Thawus bin Kaisan adalah penduduk Yaman, gubernur negerinya saat itu adalah Muhammad bin Yusuf Ats Tsaqafi, saudara dari Hajjaj bin Yusuf.

Sesaat setelah khalifah muslimin Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan menurunkan barang-barangnya di dekat Baitul Atiq, lalu melepas kerinduannya kepada Ka’bah, beliau menoleh kpd pengawalnya dan berkata: “Carilah seorang alim yang dapat memberikan peringatan kepada kita di hari mulia di antara hari-hari Allah hari ini.”

Pengawal itu berangkat menemui orang-orang yang tengah berhaji dan bertanya sesuai dengan yg dikehendaki oleh khalifah. Orang-orang berkata: “Di sini ada Thawus bin Kaisan, tokoh ulama ahli fiqih yang jujur perkataannya dalam dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’la.Oleh karena itu temuilah dia.”

Pengawal itu menghampiri Thawus dan berkata: “Ikutlah dengan kami, Amirul Mukminin mengundang Anda wahai syaikh!”

Tanpa membuang waktu, Thawus mengikutinya. Menurut beliau bahwa setiap da’i tidak boleh menyia-nyiakan waktu bila ada kesempatan. Setiap kali diundang, mereka bersegera datang. Ia juga meyakini bahwa kalimat yang utama untuk disampaikan adalah kalimat yang benar untuk meluruskan para penguasa yang menyimpang dan menjauhkan mereka dari kezhaliman dan kekejaman, sekaligus mendekatkan mereka kepada Allah subhanahu wa Ta’ala.

Sesampainya di depan Amirul Mukminin, beliau memberi salam dan disambut dengan sangat ramah. Selanjutnya khalifah membimbing beliau menuju majelisnya lalu bertanya tentang persoalan manasik haji. Beliau mendengarkan dengan tekun dan penuh hormat.

Ketika beliau merasa Amirul Mukminin sudah mendapatkan keterangan yang diperlukan dan tak ada lagi yang dipertanyakan, Thawus berkata dlm hati: ” Ini adalah majelis yang kelak engkau akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, wahai Thawus.”

Thawus menoleh kepd khalifah dan berkata :”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ada suatu batu besar di tepi sumur jahanam. Batu itu dilemparkan ke dasar jahanam dan baru mencapai dasarnya setelah 70 tahun. Tahukah Anda untuk siapakah sumur itu disediakan, wahai Amirul Mukminin?”

Khalifah berkata :”Tidak, duhai celaka, untuk siapa itu?” Thawus bin Kaisan menjawab :”Untuk orang-orang yang dipilih Allah sebagai penegak hukum-Nya namun dia menyelewengkannya.”

Tiba-tiba saja tubuh Khalifah Sulaiman gemetaran sampai aku menduga ruhnya akan terbang dari jasadnya. Setelah itu beliau menangis tersedu-sedu. Kemudian meninggalkan majlis dan pulang sedangkan khalifah mendo’akan agar Thawus mendapat balasan yang lebih baik.”

*************

Tatkala khalifah berpindah ke tangan Umar bin Abdul Aziz, Thawus menerima surat dari Amirul Mukminin yang isinya :”Berilah  aku  nasehat, wahai Abu Abdirrahman(kunyah Thawus bin Kaisan)!” Thawus bin Kaisan menjawab surat tsb dengan sebaris kalimat singkat: “Bila Anda menghendaki seluruh amal Anda baik, maka angkatlah para pegawai dari orang-orang  yang baik pula, wassalam.”

Demi membaca surat jawaban tersebut khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: “Cukuplah ini sebagai peringatan… cukuplah inin sebagai peringatan.”

Begitu pula ketika khalifah berlalih ke tangan Hisyam bin Abdul Malik, banyak kejadian masyhur dan mengesankan antara dia dan Thawus bin Kaisan.

Sebagai contoh adalah peristiwa ketika Hisyam menunaikan ibadah haji. Begitu memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada pemuka Makkah: “Carikan aku seorang shahabat Rasullullah shallallahu alaihi was sallam.” Mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, para shahabat telah wafat satu demi satu hingga tak satupun tersisa dari mereka.”  Hisyam berkata: “Jika demikian, carikan di antara ulama tabi’in!” Maka dipaggillah Thawus bin Kaisan.

Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut “Amirul Mukminin”  dan hanya menyebutkan namanya saja tanpa atribut kehormatan. Kemudian beliau langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.

Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakuan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih dihadapan para pejabat dan pengawalnya.

Hanya saja dia sadar bahwa saat itu berada di Tanah Haram, rumah Allah sehingga dia menahan dirinya lalu berkata,

Hisyam :”Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”

Thawus :”Memangnya apa yang saya lakukan.”

Hisyam :”Anda melepas sepatu dintepi permadani saya, Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku  tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilakan.”

Thawus :”Adapun tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Esa, maka hendaknya Anda tidak marah dan gusar.   Adapun masalah saya tidak memberi salam tanpa menyebutkan gelar amirul mukminin, itu karena tidak seluruh muslimin membai’at Anda.  Oleh karena itu, saya takut dikatakan sebagai pembohong apabila memanggil Anda Amirul Mukminin.  Anda tidak rela saya menyebut  nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah memanggil nabi-nabiNya dengan nama-nama mereka: Wahai Daud… Wahai Yahya… Wahai Musa… Wahai Isa… ” Sebaliknya menyebut musuhnya dengan menyertakan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”).

Adapun mengapa saya duduk sebelum dipersilakan, ini karena saya mendengar dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata: “Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seorang yang duduk sedangkan orang-orang disekelilingnya berdiri.” Saya tidak suka Anda menjadi ahli neraka.” Amirul Mukminin Hisyam mendengar penjelasan itu dengan serius.

Hisyam :”Wahai Abu Abdurrahman, berilah saya nasehat.”

Thawus :”Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: “Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalajengking sebesar kuda. Mereka menggigit dan menyengat setiap penguasa yg tidak adil terhadap rakyatnya.”

Setelah itu beliau bangkit dari tempat duduknya lalu pergi.

******************

Ada kalanya Thawus bin Kaisan mendatangi para penguasa untuk memberikan petunjuk dan nasihat.  Ada kalanya dia mengecam dan membuat mereka menangis.

Putranya bercerita: “Suatu tahun kami berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yg disana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling antipati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.

Setibanya di sana, kami singgah di masjid kota itu untuk menunaikan shalat faedhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar tentang kedatangan ayahku sehingga dia datang ke masjid. Dia duduk di samping ayahku dan memberi salam. Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak bicara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Demikian pula ketika dia mencoba dari sisi kiri.

Aku mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata: “Mungkin ayahku tidak mengenal Anda.” Dia berkata: “Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku.” Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi …

Sesampainya di rumah, ayah berkata: “Sungguh dungu kalian! Bila jauh kamu selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dikatakan kemunafikan?”

Nasihat Thawus bin Kaisan tidak hanya khusus ditujukan untuk khalifah atau pejabat dan gubernur saja, melainkan juga kepada siapa saja yang dirasa perlu atau bagi mereka yang menginginkan nasihat-nasihatnya.

Sebagai contoh adalah kisah yang diriwayatkan oleh Atha’ bin Abi Rabah sebagai berikut:

Pernah suatu ketika Thawus bin Kaisan melihatku dalam keadaan yg tdk disukainya, lalu berkata: “Wahai Atha’, mengapa engkau mengutarakan kebutuhanmu kepada orang yg menutup pintunya di depanmu dan menempatkan penjaga-penjaga di rumahnya?” Mintalah kepada yang sudi membuka pintuNya dan mengundangmu untuk datang, serta berjanji akan menepati janjinya.”

Thawus bin Kaisan pernah menasihati putranya: “Wahai putraku, bergaullah bergaullah dengan orang-orang yang berakal karena engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka. Jangan berteman dengan orang-orang bodoh, sebab bila engkau berteman dengan mereka, niscaya engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka, walaupun engkau tdk seperti mereka. Ketahuilah, bagi segala sesuatu pasti ada puncaknya. Dan puncak derajat seseorang terletak pd kesempurnaan agama dan akhlaknya.”

Begitulah, putranya Abdullah tumbuh dalam bimbingannya, hidup serta berakhlak seperti ayahnya itu. Maka wajar bila khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far Al Mansur memanggil putra Thawus, Abdullah serta Malik Bin Anas untuk berkunjung. Setelah keduanya datang dan duduk di hadapannya, khalifah menatap Abdullah bin Thawus seraya berkata: “Ceritakanlah sesuatu yang engkau peroleh dari ayahmu!” Beliau menjawab: “Ayah saya bercerita bahwa siksa Allah yang paling keras di hari kiamat dijatuhkan kepada orang yang diberi-Nya kekuasaan lalu berlaku curang.”

Malik bin Anas berkata: “Demi mendengar ucapan tersebut, aku segera melipat pakaianku karena takut terkena percikan darahnya.  Tapi ternyata Abu Ja’far hanya diam terpaku lalu kami berdua diizinkan pulang dengan selamat.”

*************************

Usia Thawus bin Kaisan mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Namun usia tua tdk mengubah sedikitpun ketajaman ingatan,kejeniusan pikiran kecepatan daya tangkapnya.

Abdullah Asyami berkata: “Saya mendatangi rumah Thawus bin Kaisan untuk belajar sesuatu kepadanya, sedangkan aku belum mengenalnya. Ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seseorang yang sudah tua usianya. Aku memberi salam dan bertanya: “Andakan Thawus bin Kaisan?” Orang tua itu menjawab: “Bukan, aku adalah putranya.”

Aku berkata: “Bila Anda putranya maka tentulah syaikh itu sudah tua renta dan mungkin sudah pikun. Padahal saya datang dari tempat yang jauh untuk menimba ilmu dari beliau.” Putra Thawus berkata: “Jangan bodoh, orang yang mengajarkan Kitabullah tidaklah pikun. Silakan masuk!”

Akupun masuk, memberi salam lalu berkata: “Saya datang kepada Anda ingin menimba ilmu dan mendengarkan nasihat Anda. Jelaskan secara singkat.” Thawus berkata: “Akan aku ringkas sedapat mungkin, Insya Allah. Apakah engkau ingin aku menceritakan tentang inti isi Taurat, Zabur, Injil,dan Al-Quran?”

Aku berkata: “Benar.” Beliau berkata: “Takutlah kepada Allah dengan rasa takut yang  tiada bandingnya. Mohon kepada-Nya suatu permohonan yang lebih besar daripada rasa takutmubkepada-Nya. Dan senangkanlah orang lain sebagaimana engkau menyenangakan dirimu sendiri.”

Malam 10 Dzulhijjah 106 H, wafatlah seorang syaikh lanjut usia, yaitu Thawus bin Kaisan ketika tengah menunaikan haji,, dari Arafah menuju Muzdalifah, pada perjalanannya yang ke-empat puluh kalinya.

Ketika itu, beliau menaruh perbekalannya, kemudian melakukan shalat Maghrib dan ‘Isya. Setelah itu beliau merebahkan tubuhnya di atas tanah untuk beristirahat. Pada saat itulah ajal menjemput beliau.

Beliau wafat ketika jauh dari keluarga, jauh dari negeri sendiri, demi bertaqarub kepada Allah subhanahu wa Ta’ala. Wafat dalam keadaan bertalbiyah dan berihram untuk mencarin pahala Allah, untuk keluar dari dosa-dosa sehingga kembali seperti saat dilahirkan dengan karunia Allah.

Ketika matahari terbit dan jenazah hendak diurus penguburannya, ternyata jenazah sulit untuk dikeluarkan karena sesaknya orang yg hendak mengantarkan jenazahnya. Bahkan amir Makkah terpaksa mengirim pengawalnya untuk menghalau orang-orang yang mengemuruni jenazahnya agar bisa diurus sebagaimana mestinya. Orang yang turut menshalatkan banyak sekali, hanya Allah yg mampu menghitungnya, termasuk di dalamnya Amirul Mukminin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.*

*Untuk menambahi keterangan tentang Thawus bin Kaisan silakan lihat:

1. Ath-Thabaqaat Al-Kubra Ibnu Sa’ad 5/534.

2. Thabaqaat Khalifah binKhayyath 226.

3. At-Tariikh Al-Kabir 4/365.

4. Tariikh Al-Fasawi 1/705

5. Al-Jarh wa At-Ta’diil 4/500.

6. Hilyah Al-Auliyaa’ 4/3,23.

7 Thabaqat Al-Fuqahaa’, Asy- Syairaazi 73.

8. Al-Lubaab 1/241.

9. Tahdzib At-Tahdziib 2/101.

10. Tariikh Al-Islam 4/126.

11. Tadzkirah Al-Huffazh 1/90.

12. Al-Ibar 1/130.

13. Thabaqaat Al-Qurra’ 1/341

14. An-Nujuum Az-Zaahirah 1/26.

15. Syadzaraat Adz-Dzahab 1/133.

Sumber : Buku Berjudul TABI’IN “Mereka Adalah Para Tabi’in”

Judul Asli Shuwaru min Hayati at-Tabi’in

Penulis : DR. Abdurrahman Ra’fat Basya

Penerjemah : Team At-Tibyan

Penerbit : At-Tibyan

Halaman : 251 s.d. 257.

 

Pos ini dipublikasikan di Kisah Teladan dan tag , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar